Yang ingin dikisahkan dalam tarian tersebut ialah, betapa sulit
perjalanan yang harus mereka tempuh, betapa berat beban perbekalan yang
mereka bawa, sampai terbungkuk-bungkuk, terseok-seok, menuruni
lembah-lembah yang curam, menaiki gunung-gunung, bagaimana mereka
mengelilingi kawah seraya melihat melongok-longok ke dalam, kepanikan
mereka, ketika “Sang Puteri“ terjatuh masuk kawah, disusul kemudian
dengan pelemparan batu dan tanah yang mengurug kawah tersebut, sehingga
Jathasura yang terjun menolong “Sang Puteri“ tewas terkubur dalam kawah,
akhirnya kegembiraan oleh kemenangan yang mereka capai.
Semua adegan itu mereka lakukan melalui simbol-simbol gerak tari yang
ekspresif mempesona, yang banyak menggunakan langkah-langkah kaki yang
serempak dalam berbagai variasi, gerakan-gerakan lambung badan, pundak,
leher dan kepala, disertai mimik yang serius, sedang kedua tangannya
sibuk mengerjakan dhogdhog atau tamtam yang mereka gendong dengan
mengikatnya dengan sampur yang menyilang melalui pundak kanan. Tangan
kiri menahan dhogdhog, tangan kanannya memukul-mukul dhogdhog tersebut
membuat irama yang dikehendaki, meningkahi gerak tari dalam tempo
kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Demikian kaya simbol-simbol
yang mereka ungkapkan lewat tari mereka yang penuh dengan ragam variasi,
dalam iringan gamelan yang monoton magis, dengan lengkingan
selompretnya yang membawakan melodi terus-menerus tanpa putus,
benar-benar memukau penonton, seakan-akan berada di bawah hipnose.
Busana penari adalah busana keprajuritan menurut fantasi mereka dari
unit reog yang bersangkutan. Di Tulungagung dan sekitar, bahkan sampai
di luar daerah Kabupaten Tulungagung, sekarang sudah banyak bersebaran
unit-unit reog sejenis, dan mereka memiliki seleranya masing-masing
dalam memilih warna. Unit-unit yang terdiri dari golongan muda usia,
biasanya memilih warna yang menyala, merah misalnya.
Sebuah unit reog dari desa Gendhingan, Kecamatan Kedhungwaru, Kabupaten
Tulungagung, beranggotakan orang-orang dewasa, bahkan tua-tua. Mungkin
karena kedewasaannya itu mereka sengaja memilih warna hitam sebagai
latar dasar busananya, sedang atribut-atributnya berwarna cerah.
Busana yang dikenakan oleh unit reog dari golongan muda usia, tidak jauh
berbeda, hanya warna mereka pilih yang menyala, disamping hiasan-hiasan
lain yang dianggap perlu untuk “memperindah“ penampilan, misalnya
rumbai-rumbai yang dipasang melingkar pada iker-iker. Dalam pada itu
pada kaki kiri dipasang gongseng, yaitu gelang kaki yang
bergiring-giring. Tentang gamelan yang mengiringi dapat dituturkan
sebagai berikut. Keenam instrumen dhogdhog, sebangsa kendhang atau
ketipung, tetapi kulitnya hanya sebelah, yang ditabuh oleh penarinya
sendiri, terbagi menurut fungsinya: dhogdhog kerep, dhogdhog arang,
timbang-timbangan atau imbalan, keplak, trentheng dan sebuah lagi
dipukul dengan tongkat kecil disebut trunthong. Di luar formasi ini
ditambah dengan tiga orang pemain tambahan sebagai pemukul kenong,
pemukul kempul, dan peniup selompret. Kenong dan kempul secara
bergantian menciptakan kejelasan ritma, dan selompret membuat melodi
lagu-lagu yang memperjelas pergantian-pergantian ragam gerak.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini kemudian dipertunjukkan dalam
pawai-pawai besar untuk memeriahkan hari-hari besar nasional. Untuk
kepentingan yang akhir inilah kemudian orang membuat penampilan tari
Reog Kendhang identik dengan “drum-band”. Maka gerak-gerik yang semula
dirasa refined dan halus, cenderung dibuat lebih keras dan cepat.
Derap-derap genderang ditirukan dengan pukulan-pukulan dhogdhog.
Terompet bambu-kayu semacam sroten itu pun ditiup dengan lagu-lagu baru.
Akibatnya musik diatonis itu pun dipaksakan dalam nada-nada pelog
pentatonis.
sumber:informasi dari blog lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar